Jumat, 05 September 2014

Sejarah Demokrasi Pada Abad ke-20 dan 21

Sejarah Demokrasi Pada Abad ke-20 dan 21
          Transisi abad ke-20 ke demokrasi liberal muncul dalam serangkaian "gelombang demokrasi" yang diakibatkan oleh perang, revolusi, dekolonisasi,  religious and economic circumstances. Perang Dunia I dan pembubaran Kesultanan Utsmaniyah danAustria-Hongaria berakhir dengan terbentuknya beberapa negara-bangsa baru di Eropa, kebanyakan di antaranya tidak terlalu demokratis.
Pada tahun 1920-an, demokrasi tumbuh subur tetapi terhambat Depresi Besar. Amerika Latin dan Asia langsung berubah ke sistem kekuasaan mutlak atau kediktatoran. Fasisme dan kediktatoran terbentuk di Jerman Nazi, Italia, Spanyol, dan Portugal, serta rezim-rezim non-demokratis di Baltik, Balkan, Brasil, Kuba, Cina, dan Jepang.
Perang Dunia II mulai memutarbalikkan tren ini di Eropa Barat. Demokratisasi Jerman dudukan Amerika Serikat, Britania, dan Perancis (diragukan), Austria, Italia, dan Jepang dudukan menjadi model teori perubahan rezim selanjutnya.

Akan tetapi, sebagian besar Eropa Timur, termasuk Jerman dudukan Soviet masuk dalam blok-Soviet yang non-demokratis. Perang Dunia diikuti oleh dekolonisasi dan banyak negara merdeka baru memiliki konstitusi demokratis. India tampil sebagai negara demokrasi terbesar di dunia sampai sekarang.
Pada tahun 1960, banyak negara yang menggunakan sistem demokrasi, meski sebagian besar penduduk dunia tinggal di negara yang melaksanakan pemilihan umum terkontrol dan bentuk-bentuk pembohongan lainnya (terutama di negara komunis dan bekas koloninya).
Gelombang demokratisasi yang muncul setelah itu membawa keuntungan demokrasi liberal sejati yang besar bagi banyak negara. Spanyol, Portugal (1974), dan sejumlah kediktatoran militer di Amerika Selatan kembali dikuasai rakyat sipil pada akhir 1970-an dan awal 1980-an (Argentina tahun 1983, Bolivia, Uruguay tahun 1984, Brasil tahun 1985, dan Chili awal 1990-an). Peristiwa ini diikuti oleh banyak bangsa di Asia Timur dan Selatan pada pertengahan sampai akhir 1980-an.
Malaise ekonomi tahun 1980-an, disertai ketidakpuasan atas penindasan Soviet, menjadi faktor runtuhnya Uni Soviet yang menjadi tanda berakhirnya Perang Dingin dan demokratisasi dan liberalisasi bekas negara-negara blok Timur. Kebanyakan negara demokrasi baru yang sukses secara geografis dan budaya terletak dekat dengan Eropa Barat. Mereka sekarang menjadi anggota atau calon anggota Uni Eropa. Sejumlah peneliti menganggap Rusia saat ini bukanlah demokrasi sejati dan lebih mirip kediktatoran.
Tren liberal ini menyebar ke beberapa negara di Afrika pada tahun 1990-an, termasuk Afrika Selatan. Contoh terbaru liberalisasi adalah Revolusi Indonesia 1998, Revolusi Bulldozer di Yugoslavia, Revolusi Mawar di Georgia,Revolusi Oranye di Ukraina, Revolusi Cedar di Lebanon, Revolusi Tulip di Kyrgyzstan, dan Revolusi Yasmin di Tunisia.
Menurut Freedom House, pada tahun 2007 terdapat 123 negara demokrasi elektoral (naik dari 40 pada tahun 1972). Menurut World Forum on Democracy, jumlah negara demokrasi elektoral mencapai 120 dari 192 negara di dunia dan mencakup 58,2 penduduk dunia. Pada saat yang sama, negara-negara demokrasi liberal (yang dianggap Freedom House sebagai negara yang bebas dan menghormati hukum dan HAM) berjumlah 85 dan mencakup 38 persen penduduk dunia.
Pada tahun 2010, Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan 15 September sebagai Hari Demokrasi Internasional.

1 komentar:

  1. Blog yang menarik, mengingatkan saya akan Oriana Fallaci, wanita yang berani bertanya kepada tokoh-tokoh politik pertanyaan-pertanyaan yang brutal di dalam wawancaranya.
    Saya mencoba menulis blog tentang dia, semoga anda juga suka https://stenote-berkata.blogspot.com/2021/01/wawancara-dengan-oriana.html

    BalasHapus